” Mau kemana lagi sih ? ” Tanyamu pelan. Aku tak menjawab.
” Jalan-jalan, lagi ? ”
” Selalu. ”
” Trus, aku dianggurin? Kenapa sih, senang banget jalan-jalan tanpa aku? ” Tanyamu di suatu kesempatan.
“Hmmm. Terkadang aku hanya ingin membunuh waktuku.” Selaku.
Kamu mengernyitkan dahi, tanda tak mengerti atau tak memahamiku. Entahlah aku tak tau pasti apa yang ada di pikiranmu.
“Apa sih yang kamu cari ?”
” Jati diri. ” Lirihku pelan seperti tak bertenaga.
Dahimu semakin berkerut. Kamu menggelengkan kepala. Aku tertunduk, memperhatikan secarik tiket keberangkatanku.
Beberapa menit kemudian suasana menjadi hening. Padahal, kita duduk di coffee shop di salah satu stasiun besar di Ibu kota.
Kemudian kamu mengambil ponsel, berdiri setengah berteriak.
“Lo tu aneh. Jangan hubungi aku lagi ! ”
Kamu melangkah meninggalkanku, dengan kopiku yang sudah mendingin.
Aku diam. Aku tak menangis. Sudah biasa. Sudah kesekian kalinya kamu lakukan, selalu berhenti di stasiun.
Aku melirik jam tanganku. Aku bangkit dan berniat melangkah. Aku tersadar kakiku tidak menyentuh lantai. Tiba-tiba ingatanku berputar. Itu adalah percakapan terakhir kita, sebelum aku menaiki kereta api menuju Kota Hujan.
Dan, aku tak pernah menghubungimu lagi seperti permintaan terakhirmu di stasiun ini.
[ Kecelakaan kereta api Ratu Jaya 1993 ]